Minggu 26 Desember 2004 pukul 10.00 adalah hari di mana ombak ganas menggulung kota Aceh yang mashur beserta isinya tanpa ampun, tetapi baru 24 jam kemudian orang baru tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Reaksi dan bantuan dari pemerintah datang diterima karena memang informasi yang lambat diterima. Juga bencana yang begitu dahsyatnya sehingga pada masa-masa awal justeru bangsa-bangsa asing yang ada di sana dibandingkan dengan bangsa sendiri. Sebanyak 17 bangsa asing mengibarkan bendera solidaritas.
Pertanyaannya adalah mengapa 6 tahun kemudian hal yang sama justeru terjadi lagi dengan kondisi yang jauh lebih parah? Mentawai hanya sepemandangan dari Padang. Gugusan kepulauan di paling depan samudera Hindia, Senin 25 Oktober 2010 diguncang gempa 7,2 Skala Richter. Beberapa jam kemudian, ombak raksasa tak memedulikan jerit tangis, menelannya hingga pulau-pulau, pantai-pantai luluh lantak meninggalkan kedukaan,dan kengerian yang tak terpermanai.
Kali ini bukan hanya 24 jam kemudian bantuan baru datang, bukan 30 jam, tetapi berpuluh-puluh jam kemudian. Tidak tersedianya landasan pesawat terbang dan tingginya ombak laut selatan menjadi pembenar lambatnya bantuan. Maka yang mati lekaslah mati tanpa siksa, namun yang hidup dalam jiwa meregang karena tak lekas memperoleh bantuan obat-obatan dan pertolongan lainnya, sungguh sebuah siksa tak berperi.
Angka-angka kemudian dibuhulkan dengan statistik tanpa jiwa: 415 orang meninggal, 128 orang hilang, 270 luka-luka, 12.000 jiwa kehilangan tempat tinggal, berdiam di bawah tenda-tenda darurat yang tak sanggup menghalang hujan dan angin untuk merobohkannya. Televisi mewartawan, bantuan bertumpuk-tumpuk di Padang-Bengkulu-dan Sikakap, namun nihil di Mentawai pedalaman Pulau Siberut, Pulau Sipora, Pagai Utara, dan Pagai Selatan.
Erupsi Merapi
Di sudut bumi yang lain, masih dalam kawasan administrasi Republik Indonesia, ada gunung namanya Merapi. Telah sebulan mengendus-endus menjelang erupsi. Semua orang sesuai dengan keahliannya telah bekerja keras siang dan malam. Media massa juga melaporkan setiap perkembangannya. Ada dramatisasi, ada mitos-mitos menyembul, namun laporan itu memberi manfaat bagi publik untuk bersiap akan sesuatu yang akan terjadi dengan segala resikonya.
Tanggal 25 Oktober, 35 jam hitung mundur sebelum titik kejadian, Pusat Vulkanologi sudah memberikan peringatan status Awas, status tertinggi dalam ancaman bahaya Merapi. Cukup waktu untuk bersiap menyelamatkan diri bila setiap perubahan status disikapi dengan antisipasi dewasa dan kebijakan baku. Pengungsian sudah dilakukan dengan jarak aman 10 Km.
Selasa 26 )ktober 2010 pukul 17.02 , bertubi-tubi hingga pukul 18.16 . Merapi mencari keseimbangan baru, yang bagi manusia bahaya itu akhirnya sungguh-sungguh datang, api awan material panas bergulung-gulung menarikan massanya bersama senja yang muram, beriring gemuruh suara teriakan perut bumi yang dilepaskan sarat energi. Kampung Kinahrejo , desa Umbulharjo, kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman luluh lantak.
Malam yang mencekam dan seakan penuh kemalangan, tetapi juga saksi kebodohan. Sebanyak 29 orang ditemukan tewas terpanggang, bahkan akhirnya menjadi 32 orang, menjadi 33 orang karena 1 orang balita juga meninggal di Kabupaten Magelang Jawa Tengah. Dari jenasah yang ditemukan, terdapat satu sosok yang sangat menyedot perhatian media massa, yakni Mbah Marijan yang dikenal sebagai juru kunci gunung Merapi. Sosok ini menarik karena saat letusan tahun 2006 ia menolak dievakuasi dan ternyata selamat sehingga banyak orang memitoskan sebagai “tokoh sakti”.
Petaka tak lekas berakhir, karena 4 November tengah malam Merapi mencatat sejarahnya memberikan letusan terbesar dalam 100 tahun terakhir. Lalu angka-angka kematian terus bertambah, menjadi 64,66, 94, dan berapa lagi angka itu akan berhenti untuk menghitung kematian. Yang pasti sampai tulisan ini menjelang naik cetak telah terbuhul angka kematian untuk 141 orang, ratusan orang luka bakar, dan jumlah pengungsi mencapai 278.403 orang yang tersebar berbagai titik di Kabupaten Magelang (105.128 orang), Kabupaten Boyolali (60,643 orang), Kabupaten Klaten (58,482 orang), dan Kabupaten Sleman (54.153 orang).
Di mana Wasior?
Wasior adalah bagian sah dari Negara Republik Indonesia. Ia berada di Propinsi Papua Barat. Namun saat bencana banjir bandang datang tanggal 4 Oktober 2010, banyak orang bertanya, di mana Wasior?
Berita bencana hanya muncul sepintas walaupun ratusan korban berjatuhan. Para pejabat negeri baru bermunculan beberapa hari kemudian setelah Presiden menyatakan akan datang meninjau lokasi bencana. Kota yang berada dalam apitan hutan di kaki gunung dengan kemiringan rawan bencana ini sudah diketahui sejak lama, bahwa bencana bisa datang sewaktu-waktu, namun tak ada upaya eksekusi bagaimana menjauhi bencana tersebut. Begitu pula dengan sosialisasi yang nyaris tidak ada. Yang terjadi saat banjir bandang datang, semua kaget:Jakarta kaget, Gubernur kaget, Bupati kaget, hanya rakyat yang tidak kaget karena telah menjadi jenazah tertindih balok-balok kayu.
Tak pernah siap
Narasi di atas ingin penulis tegaskan bahwa, memang benar, ada dua bencana luar biasa yang sebagian berada di luar jangkauan manusia karena kita tidak bisa meramalkan secara pasti kapan titik kulminasi bencana itu akan terjadi baik gempa, gelombang tsunami dan letusan gunung api. Sampai titik ini, kita mafhum dan mklum, dengan penuh kesadaran akan betapa lemahnya makhluk manusia di tengah kehebatan alam raya ini. Benar, itu bencana, tidak ada manusia yang sanggup menghadangnya.
Namun kalau kita jeli melihat sesungguhnya selain ada bencana alam, juga ada bencana kebijakan. Kita tidak belajar dari peristiwa Tsunami Aceh., dan juga dalam beberapa hal gempa bumi Padang pada bulan September 2009. Dari peramalan para ahli, sudah menjadi rahasia umum bahwa akan terjadi gempa besar di lempeng selatan yang memanjang dari Aceh hingga ujung selatan Sumatera, bahkan Jawa hingga Maluku. Namun kita masih sebatas tahu akan terjadi hal itu, tanpa diikuti dengan gegap gempita persiapan yang memadai.
Ketika saatnya tiba, kita menjadi kaget, tertegun, seperti tidak bisa melakukan apa-apa. Seorang Ketua DPR Dr Marzuki Ali bahkan dengan entengnya berbincang dengan logika tanpa hati nurani, bahwa “Salahnya sendiri, sudah tahu daerah bencana tetapi tetap tinggal di tempat itu”. Ia lupa, siapa suka tinggal di daerah bencana? Adakah kemampuan rakyat jelata untuk memilih tinggal di Menteng, Kuningan, Pondok Indah, atau Senayan?
Pasca gempa dan tsunami Aceh tahun 2004 sebenarnya wacana kesiapsiagaan menghadapi bencana cukup riuh menjadi perbincangan nasional. Out put nya, kita memiliki Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, yang kemudian melahirkan organisasi Badan Nasional Penanggulangan bencana (BNPB). Pada bencana Tasikmalaya dan Padang saya melihat BNPB sudah cukup hadir. Namun saat bencana Mentawai dan Merapi, saya melihat BNPB terlihat gagap. Barulah setelah Presiden mengeluarkan instruksi tanggal 6 November agar BNPB menjadi satu Pusat Komando, kehadirannya muai dirasakan. Yang masih perlu ditekankan kembali oleh BNPB adalah pada aspek sosialisasi dan upaya-upaya pengurangan resiko bencana, BNPB terlihat masih lemah.
Belajar dari Jepang
Lihat bangsa cerdas Jepang. Ketika menyadari pula yang didiami sebagai Negara bagai bara beku yang setiap saat menggoncang dengan gempai dan digulung-gulung ombak tsunami, mereka gempita mengkawinkan teknologi dengan harapan hidup tanpa lupa doa kepada yang disembahnya. Bangunan-bangunan dibuat anti gempa, infrastruktur menyesuaikan, stadion-stadion olah raga di balik kursi-kursi tempat duduk penonton berisi cadangan logistik, dan pada daerah-daerah dengan jangkauan transportasi sulit dijadikan pos terdepan untuk penyiapan perbantuan apabila terjadi hal yang tidak diinginkan.
Di Swiss saya mendapati setiap rumah, sekecil apapun, bahkan sampai di luar kota diperlengkapi dengan bunker-bunker sangat kuat, tahan terhadap boom atom, atau letusan gunung. Di Rusia saya mendapati stasiun kereta api bawah tanah yang jauh menghunjam ke bawah dibuat sangat-sangat longgar, yang ternyata dari keterangan yang saya peroleh, hal itu bagian dari antisipasi kalau sewaktu-waktu ada bencana di darat apakah karena alam atau konflik sosial, warga Negara akan diamankan pada bangunan-bangunan bawah tanah.
Seandainya kita melakukan hal yang sama untuk Mentawai-Nias dan pulau-pulau terdepan. Mestinya kita sudah menyiapkan landasan pesawat terbang, Depot logistik cadangan, pasukan relawan yang siap diterjunkan ke mana pun setiap saat, serta pesawat-pesawat kargo yang tinggal pijit saklar untuk menggerakkannya. Jadi ada bencana kebijakan yang membuat rakyat tambah menderita karena kebijakan yang kita bangun adalah kebijakan rekatif, bukan kebijakan antisipatif.
Tidak usah muluk-muluk seperti Jepang atau Rusia dengan membangun bunker kedalaman aman bila terjadi bencana di darat. Di sekitar daerah bencana Merapi misalnya, jalur evakuasi saja tidak terawat dengan baik. Banyak jalan rusak karena truk-truk besar dibiarkan lewat mengangkuti pasir Merapi dengan beban berlebih sehingga untuk memastikan penduduk jarak 5 km bila dievakuasi dalam waktu 5 menit sampai daerah aman menjadi tidak terpenuhi. Juga bangunan pengungsian, semestinya dibangun bangunan-bangunan pengungsian untuk bahaya jarak 10 km, 15 Km, 20 km, sampai 25 Km. Pada saat aman, bangunan tersebut bisa menjadi sarana olah raga, kesenian, maupun fasilitas umum lainnya.
Bukankah manusia modern ditandai dengan kevisionerannya dalam menatap masa depan? Dalam merespon bencana, kita dituntut untuk berfikir kemungkinan terburuk, bukan yang sebaliknya.
Tak pernah Ingkar Janji
Untuk kasus Merapi, secara nalar saya belum bisa menerima kematian 29 orang di dusun Kinahrejo pada hari pertama letusan Merapi termasuk Mbah Marijan. Di masa muda kebetulan saya menjadi wartawan sebuah surat kabar yang ditugaskan di Magelang yang sangat akrab dengan kawasan Merapi dan biasa bermalam-malam “menunggu Kiai Petruk batuk” di Pos Krinjing, atau Ngepos, atau berkemah menikmati guguran lava pijar dari Jurang Jero yang hanya 6 Km dari puncak Merapi.
Dari pengalaman itu, saya sangat yakin, bahwa bencana Merapi itu bisa dihindari untuk korban kematian dan luka-luka asalkan ada kebijakan yang jelas dan tegas dari pemegang otoritas untuk mengkkordinasikan keputusan yang diambil dari informasi yang tersedia.
Bayangkan, 35 jam sebelum letusan, Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Surono, sudah memutuskan meningkatkan status Merapi menjadi “Awas!”. Kalau standard operating procedure (SOP) atau prosedur tetap berjalan, artinya semua orang harus sudah meninggalkan lokasi bencana, siapapun, dengan alasan apapun, dan dengan cara apapun harus dilakukan evakuasi paksa. “Merapi tidak pernah ingkar janji. Setelah peningkatan aktivitas, pasti diakhiri dengan letusan yang dapat berbentuk guguran kubah dan awan panas”ujarnya.
Yang terjadi adalah pemitosan pada tokoh Mbah Marijan. Ia dibiarkan menyebarkan “ideologinya’, ideology kesetiaan sempit, bahwa seakan-akan posisinya sebagai juru kunci adalah diam di kaki Merapi apapaun kondisi Merapi. Celakanya ideologi itu diikuti oleh banyak orang sehingga kematiannya tidak sendiri, namun bersama orang-orang lain yang tidak tunduk pada SOP yang sudah disepakati. Yang mampu menangkap Merapi tak pernah ingkar janji bukan sufi atau juru kunci, tetapi tetaplah ilmu Tuhan, kajian empirik yang bertahun-tahun digulati oleh para geolog.
Tentu banyak yang akan mengatakan bahwa semua telah terjadi. Tentu seperti itu, tetapi ciri manusia cerdas adalah mengambil peristiwa masa lalu untuk tidak terulang di masa mendatang. Tugas Negara adalah melindungi bangsa dan rakyat dari segala ancaman. Kata melindungi harus pula ditafsirkan dengan cara apapaun, cara paksa bila perlu, demi kebaikan dan keselamatan warga Negara itu sendiri.
Plesiran ke Jerman dan Tarian Perut di Turki
Yang paling tragik dari peristiwa tersebut tentulah kenyataan bahwa di tengah bencana alam dan bencana kebijakan, ada bencana moral yang dipertontonkan oleh para elite negeri ini.
Di Mentawai ketika rakyat melolong sakit, lapar, dan berada di lorong gelap antara hidup dan mati, seorang Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno yang adalah mantan anggota DPR RI malahan pergi ke Jerman untuk promosi Pariwisata. Rupaya berjualan lebih mulia daripada menyelamatkan jiwa. Inilah ideologi liberalisme sejati yang demi kemewahan dan citra boleh tidak berhati nurani. Apapun alasannya, organisasi pemerintahan memang harus berjalan semua karena dengan bencana tidak boleh berhenti, namun seorang Gubernur dan seorang Bupati adalah jabatan tak tergantikan yang memuat simbolisme kebapakan dalam melindungi rakyatnya. Kepergiannya meninggalkan tanah air jelas cacat moral bagi seorang pemimpin. Apalagi penanganan bencana Mentawai yang sejak awal sudah amburadul dan kacau balau. Saya ingin mengapreasiasi sikap Presiden SBY yang menyempatkan diri pulang mengunjungi Mentawai walau ia tengah berada dalam kunjungan kenegaraan yang sudah lama terjadwal. Juga sikapnya menyapa para warga korban bencana di Jogja dalam seminggu sampai dua kali bahkan bermalam di Jogjakarta. Sayang perintah evakuasi paksa dan satu komando BNPB datang terlambat, namun secara pribadi ia telah menunjukkan rasa kemanusiaan yang tinggi terhadap mereka yang memang membutuhkan simpati dan empati.
Ini berbeda dengan sikap para anggota DPR RI yang memilih plesiran ke berbagai Negara Eropa dan mampir nonton tari perut di Turki. Anggota Komisi VIII yang paling berhubungan dengan bencana pun ketika ditanya wartawan mengapa tidak mengunjungi Merapi, dengan entengnya seorang Wakil Ketua menjawab; “Anggaran sudah tidak ada lagi. Huh…! Berapakah biaya perjalanan Jakarta-Jogja dibandingkan dengan penghasilan anggota DPR setiap bulannya?! Maaf, terpaksa saya meludah berkali-kali setelah membaca berita ini di Harian Rakyat Merdeka . Sebagai warga Negara ,saya tidak punya kebanggaan apapun terhadap anggota DPR RI. Kita tidak membutuhkannya!
Berbeda dengan Merapi yang tak pernah ingkar janji, anggota DPR RI justeru selalu menyakiti dan ingkar janji!
Inilah ironi negeri tercinta. Dalam bawaan alam penuh potensi bencana, diperintah dengan banyak bencana kebijakan, disempurnakan oleh bencana moral dari para elite negerinya.
Catatan reflektif dalam konteks perspektif perlindungan anak adalah, bila untuk hal-hal yang mendasar saja masih seperti itu, apalagilah yang berkaitan dengan prioritas perlindungan anak. Jangan-jangan mengharapkan prioritas penanganan bencana pada anak dalam situasi darurat adalah sebuah kemewahan yang tak akan terkejar.
Yang kita impikan adalah penanganan bencana bagi anak yang jauh lebih baik, yang terjadi justeru lahirnya pemimpin negeri berjiwa kekanak-kanakan.
Di tengah kegalauan akan bencana-bencana tersebut, kita masih menyaksikan beberapa kebanggaan dan harapan akan kekuatan bangsa ini. Pertama, pidato Sri Sultan Hamengkubuwono X saat memimpin istighotsah dan doa bersama untuk keselamatan bangsa di Keraton Jogjakarta 7 November 2010. Seorang Sultan yang hidup di tengah warisan mitos menyampaikan wejangan sangat modern dan visioner.
“Masyarakat harus berfikir dan bertindak rasional dalam menghadapi bencana. Masyarakat tidak boleh bertumpu pada mitos. Bangsa yang besar tidak boleh bertumpu pada pesimisme dan mitos. Saat seperti ini diperlukan olah pikir kritis berbasis keilmuan, melepaskan diri dari kungkungan penjajahan mitos”. Bagi saya, pidato ini yang penuh pencerahan (aufklaruung), yang membuat kita meninggalkan satu lagi jenis bencana, yakni bencana tahayulisme.
Kedua, sifat solidaritas sosial masyarakat Jogjakarta yang luar biasa pada malam letusan Merapi kedua 5 November 2010. Pemilik gedung, rumah-rumah penduduk, bangunan kantor, sekolah, kampus, membuka pintu lebar-lebar untuk menampung siapapun yang datang malam itu. Mereka yang memiliki lampu batere menerangi jalan yang gelap karena listrik padam, mereka yang memiliki air memberikan cuma-cuma untuk membersihkan kaca-kaca mobil yang menghitam, mereka yang memiliki tenaga mengulurkan tangan membopong menggendong yang lemah, dan paginya tanpa komando dari Bupati atau Walikota atau pimpinan Parpol, rakyat membuat beribu-ribu nasi bungkus untuk sarapan di pagi harinya sebelum dapur umum dibangun PMI dan lembaga pemerintah lainnya. Begitu semangatnya solidaritas itu, jiwa kerelawaanannya itu, beberapa anak muda gugur jihad terpanggang panas saat berusaha mengevakuasi warga yang terjebak awan panas.
Gerakan solidaritas itu benar-benar mendebarkan, mengharukan, penuh keteladanan bagi anak-anak. Dan lagi-lagi, keteladanan ini datang dari rakyat, bukan dari elite negeri yang mentasbihkan diri sebagai pemimpin dan wakil rakyat.
Untuk kebaikan, rupanya rakyat tidak perlu wakil dan mewakilkan . Mereka lincah melakukannya sendiri.
No comments:
Post a Comment